Anda Hanya Perlu Mematikan Televisi

Tidak di sepanjang masa mereka bisa menyerbu panggung, menguasai sudut-sudut ruang untuk berteriak, sembari merayakan dua musim yang datang bersamaan. Musim semi bagi mereka, musim gugur bagi penguasa.

Musim itu tiba di akhir 1980an ketika anak-anak muda urban Indonesia, yang cukup punya uang, mulai menciptakan, menampilkan dan mengkonsumsi rap, punk dan heavy metal. Lewat musik dan lirik mereka kian berisik mencecar rentetan cacat Orde Baru. Tak sampai lama, mereka sudah meramaikan pentas arus utama musik Indonesia. Televisi saban hari menyiarkan penampilan mereka, media cetak mencatat kisah mereka. Radio mengudarakan lagu dan obrolan mereka. Kebanjiran penggemar, kaset laku keras.

Michael Bodden mencatat ini dalam Rap in Indonesian Youth Music of the 1990s: ‘‘Globalization,’’ ‘‘Outlaw Genres,’’ and Social Protest.

Para rapper bertutur lincah mengkritik gaya hidup kalangan elit yang tak kreatif, suka cari gampang, terobsesi prestise dan kenyamanan, buta ketimpangan sosial, dan gemar memamerkan pemborosan. Ini kita jumpai di lagu seperti ‘Anak Gedongan’ (Sound Da Clan) atau ‘Cewek Matre’ dan ‘Nyontek Lagi’ (Black Skin).

Mereka pun mengangkat nasib orang miskin, yang bahkan menjadi salah satu tema utama lagu-lagu rap masa itu. Black Kumuh dengan ‘Kaum Kumuh’, X-Crew dalam ‘Anak Jalanan’, Iwa-K lewat ‘Si Kecil Lili’ atau, tentu saja, Neo dalam ‘Borju’. Korupsi pemerintah pun tak lolos dari sindiran mereka, seperti di lagu ‘KKN’, oleh Neo.

Di latar belakang, Bodden juga menggambarkan bagaimana fenomena itu tumbuh di masa ketika pemerintah Orde Baru berusaha mengontrol wacana publik dan produk budaya dengan mengekang media massa, menggunting film, melarang buku, koran, penampilan teater serta konser musik yang tak patuh.

Mereka pun berupaya ‘menuntun’ dan mengembangkan praktik-praktik seni dan budaya tradisional untuk menyokong program ekonomi rezim sembari menanamkan apa yang mereka klaim sebagai ‘nilai-nilai bangsa’. Mereka melancarkan indoktrinasi dan pemaksaan ideologi yang mengutamakan ketertiban, hierarki, kepatuhan kepada elit dan otoritas paternalistik.

Di akhir 1980an, mereka bahkan mencoba menanamkan paham bahwa negara adalah satu keluarga besar yang setiap anggotanya mesti mengambil peran yang pantas—untuk melayani keinginan ‘bapak negara’. Ini kemudian mereka promosikan sebagai sesuatu yang sesuai ‘kepribadian bangsa’.

Saya Shiraishi menulis dalam Pahlawan-Pahlawan Belia, ideologi negara-sebagai-keluarga ini dipelintir oleh Suharto dari versi Ki Hajar Dewantara yang menciptakannya sebagai perlawanan terhadap konstruksi relasi bentukan pemerintah kolonial. Di Taman Siswa, mereka bukan sekadar guru dan murid, mereka juga bagian dari keluarga besar sebuah nasion, Indonesia. Di masa Suharto unsur revolusioner itu dilenyapkan, diganti dengan kepatuhan terhadap bapak negara, bapak pembangunan.

Menteri-menteri adalah ‘anak’ dari presiden yang harus menerima ‘petunjuk’ sebelum bertindak. Relasi jenis ini menetes hingga ke tangga hierarki paling bawah. Hasilnya, tercipta stereotip yang, menurut Shiraishi, mengkonstruksikan orang muda sebagai kelompok yang “belum matang, cenderung bergerombol, kadangkala mengenakan seragam sekolah, tidak disiplin, gampang naik pitam, liar, dan yang paling utama, [mereka] tidak penting.”

Di masa seperti itulah para rapper, salah satu bagian anak muda, kelompok yang paling tertekan oleh ideologi paternalistic Orde Baru, bangkit melawan. Lewat musik dan lirik mereka angkat suara. Membuat diri mereka demikian penting hingga para pejabat seperti wakil presiden menjadi sewot.

Lirik-lirik tajam rap, tentu saja, bermekaran bersama pemusik dari genre lain. Di luar mereka yang masuk ke arus utama, band Indie pun tak kurang banyak dengan penggemar yang tak sedikit. Uniknya, pemusik masa itu bisa kritis sekaligus laku keras. Slank, misalnya, diserahi double platinum tahun 1994/1995 lewat album ‘Generasi Biru’ yang berisi lagu-lagu seperti ‘Feodalisme’ dan ‘Blues Malas’. Ini menunjukkan dengan terang benderang: merekam lagu protes tidak menjadi soal bagi perusahaan rekaman atau industri hiburan televisi, serta digemari banyak pendengar.

Ironisnya, setelah youtube ada bersama kita, ketika orang bisa bikin musik apapun, ketika pelarangan menjadi bahan olok-olok, sensor dengan mudah menjadi sia-sia, tontonan musik di televisi justru menjadi kian seragam dan menjemukan. Di televisi kita hanya menemukan, mengutip Efek Rumah Kaca, ‘lagu cinta melulu’. Kisah kasih muda-mudi seolah menjadi satu-satunya persoalan orang muda yang pantas dibuat lagu.

Mencari lirik-lirik protes di televisi seperti mencari jejak tanpa petunjuk. Lirik non-asmara sekalipun sudah langka. Para pemusik yang ingin menyanyikannya—mungkin dengan segelintir pengecualian—mesti menemukan ruang dan waktu di ‘pinggiran’ untuk melagukan suara mereka.

Tapi mereka tidak musnah.

Mereka masih ada dan terus bekerja. Mereka bahkan tidak menunggu. Untuk sementara mereka memang harus menyingkir ke media alternatif, panggung-panggung bersegmen kecil atau pada jam tidur. Tetapi sesungguhnya mereka tak pernah hilang dari udara. Anda hanya perlu mematikan televisi untuk bisa mendengar mereka.

 

Tulisan ini terbit di Rubrik Literasi Koran Tempo Makassar edisi 12 Juni 2013

3 thoughts on “Anda Hanya Perlu Mematikan Televisi

Leave a comment