Mengenang Kota Parepare

Saat itu saya begitu sibuk menggoyang lonceng kecil mencoba menarik perhatian pembeli es lilin di Pelabuhan Kota Parepare. Sebuah karier singkat yang berakhir setelah lemari es rumah kami tak mampu membekukan apa-apa.Saya terlalu kecil untuk tahu, seabad sebelumnya pelabuhan itu sedang sibuk mengiriman dua komoditas penting dari Celebes: kopi dan budak.

Continue reading

Membayangkan Masa yang Menciptakan ‘Layang-Layang’

Cukup banyak orang mengungkap bahwa lagu anak-anak makin buruk, jumlahnya menyusut dan dikhawatirkan membawa pengaruh buruk pada anak-anak. Namun masih sedikit yang bertanya, masyarakat seperti apa yang menciptakan lirik-lirik semacam itu? Lagu ‘Layang-Layang’ dan permainan layang-layang bisa jadi ilustrasi, tentang masa seperti apa yang menopang penciptaannya dan bagaimana ia kian dilupakan seiring berubahnya masyarakat.

Continue reading

Seabad Berlalu, I Sangkilang Masih Seorang Budak

Sebuah perahu bercadik merayap menuju Kampung Sompu di hulu sungai yang menjulur di wilayah kerajaan Gowa. Seorang pria duduk membisu di atas sangkilang, palang penyangga kemudi di bagian belakang perahu. Ia mengenakan songkok, topi dari anyaman daun palem berhias pita emas. Sebuah tanda kebangsawanan. Pakaian kebesaran dan keris emasnya layak bagi seorang aristokrat. Pengiringnya terus mendayung, menuju sebuah pesta yang diadakan penguasa kampung.

Continue reading

Dari “Catatan Tambahan” Seorang Penerjemah

Tujuhbelas tahun kabar Amsterdam tak terdengar. Ia raib sejak Nyonya von Stubenvoll, isteri tuannya meminta ia bersama kakak perempuannya belanja ke pasar. Amsterdam bocah lelaki yang menyenangkan. Ia aktif dan cerdas. Karena itu dengan mudah ia membuat tuan dan puannya kepincut. Sesuatu yang dengan cepat menumbuhkan cemburu di hati dua orang kakaknya.
Continue reading